oktaviawinarti.com

Cerai, Bangkit dari Trauma, Membangun Keluarga: Perspektifku (Kisah Lebaran Part 2)

Post a Comment
Konten [Tampil]

Rasanya udah lama banget part 2 lebaran idulfitri nggak tayang. Percayalah, Saya baru menguatkan diri untuk tidak berderai air mata saat menuliskannya. Memang bukan hal mudah untuk menuliskan sebuah peristiwa yang traumatis. Perlu jeda yang cukup dan kesanggupan hati untuk mendengar, melihat, atau menjadi orang yang disandarkan bahunya pada setiap cerita tragis rumah tangga.

Kayak horor aja yak 'tragis' hoho. Buat yang horor beneran, tunggu part 3-nya aja yaks Sobi! Lah jadi spoiler eike wkwk. 

Baiklah biar nggak tambah penasaran. Saya mau memulai part 2 ini dengan sebuah quotes.

Seseorang yang diuji, hendaknya banyak mengingat Allah dan mengambil pelajaran penting dari masalah yang menghantam hidupnya. - Okta, di kota Lumpia

Setiap orang tentu punya ujian hidup. Itu nggak sama antara satu orang dengan orang yang lain. Allah akan menguji hamba sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. So, kalau kita merasa orang yang punya empati dan tahu diri, janganlah menyamakan ujian hidup kita dengan orang lain. Lantas membuat perbandingan dengan itu.

Kita tahu bahwa hal tersebut bukanlah suatu yang bijaksana. Malah menambah masalah dan bikin kita jadi orang yang nggak disukai. Stop compare ourself with other!

Berbeda halnya, kalau kita mau mengambil insight atau sisi baik kehidupan dari ujian orang lain. Kita jadi bisa menempatkan diri. Mampu mengambil sikap yang bijak jika kita atau orang terdekat dihadapkan dengan ujian yang mungkin sama.

Lebaran idulfitri memang sudah lewat, tapi pelajaran yang didapat dari pertemuan, kisah, dan serangkaian interaksi selama perjalanan bersama, menjadi buah tangan yang tidak bisa dilewatkan. Saya akan mencoba merangkum itu semua dalam 3 poin besar.

Tapi sebelum itu jangan lupa baca part pertamanya ya. Karena ini akan saling berkaitan. So, here it is.

1. Bagaimana Saya memandang sebuah pernikahan dan perceraian?

Mengenal kabupaten Indramayu, belum afdhol kalau nggak mengupas masalah sosial di dalamnya. Melihat fenomena keseharian yang nampak biasa, tapi bisa menjadi masalah yang nggak biasa untuk pembentukan karakter generasi mendatang.
Pernikahan di bawah umur dan isu perceraian yang merebak makin menghantui sebagian besar orang Indonesia dan memandang 'pernikahan' sebagai sebuah kerumitan belaka.
Mungkin yang ada di Indramayu hanya sebagian kecil saja. Belum melihat angka lain di berbagai kota atau kebupaten di Indonesia. Jika dikalkulasikan semuanya, mungkin angka itu hanya jadi buih saja. Apa sebetulnya root dari semua masalah yang ada saat ini?

2. Bagaimana rekonstruksi sosial mampu membangun makna sebuah keluarga?
Kita bisa mengklaim diri sebagai orangtua yang punya andil dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Tapi apakah kita bisa menjamin kualitas kehidupan anak setelah masa aqil baligh? Apakah kita sudah mempersiapkan diri untuk melepaskan anak kita menghadapi dunia yang sebegitu rumit ini? Apakah benar rekonstruksi sosial mampu merevitalisasi makna keluarga saat mereka dewasa nanti dan mereka akan dihadapkan dengan banyak pilihan untuk punya atau tidak memiliki anak? Apakah kita sudah menentukan mau mengambil peran apa saat ini dalam kemajemukan masyarakat itu?

3. Potongan kisah yang menginspirasi dari kedua mertua
Di bagian akhir Saya ingin menceritakan potongan drama kehidupan sebagai pasangan yang sudah menikah selama 30 tahunan. Tentu Saya bercerita dari sudut pandang Saya yang baru menapaki kehidupan rumah tanga selama 3 tahun. 



Related Posts

Post a Comment