oktaviawinarti.com

Nenek Kok Sendirian ?

Konten [Tampil]
Ini tulisan setahun yang lalu, waktu itu Aku bertemu dengan nenek-nenek di dalam bus yang sama menuju ke Semarang. Itu kali pertamaku naik bus ke Semarang, karena biasanya naik kereta api. Sebuah pertemuan berharga dengannya sebab kumerasakan sebuah ketegaran dalam diri seorang perempuan. Ada part yang hilang, tapi ku berjanji akan melengkapinya hehe :"D

Agustus 2017

Saat itu matahari sangat terik, Aku berdiri di depan loket. Masih menanti bus yang akan datang mengantarku ke kota lumpia. Aku mendapatkan nomor bus 358. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Dari tempatku berdiri, orang-orang yang sedari tadi menunggu di kursi penumpang segera naik ke dalam bus yang sudah bertengger di halaman parkiran bus.

Aku masih melamun dan sesekali melihat waktu di handphoneku. Aku menggerutu. Kok bisa-bisanya nyuruh orang tepat waktu tapi dirinya sendiri malah telat. Namun lamunanku dibuyarkan oleh seruan dari kondektur bus yang memerhatikanku saat penumpang lain telah semuanya naik ke dalam bus.

Ia menertawakanku dan memberitahu kalau bus bernomor 358 itu adalah busku, yang sedari tadi bertengger di halaman parkir. Aku terperanjat dari lamunanku dan segera memasuki ruangan ber-AC tersebut. Aku telah berpamitan sebelumnya dengan Adikku yang mengantarkan sampai ke dalam pool bus. Huft ,kenapa Aku tidak sadar kalau itu busnya!

Di dalam bus aku mengamati sekelilingku. Masih sepi, pikirku. Dan Aku merasakan kantuk yang sangat. Akupun tertidur. Setengah jam berlalu dan ada seorang nenek yang baru saja memasuki bus lewat pintu depan. Ia mencari nomor kursinya dan memastikan sekali lagi apakah kursinya di sebelahku. 2A! Ya itu nomor kursi busnya ,tepat di sebelahku.

Ia memakai kerudung segiempat dengan selendang di lehernya. Tubuhnya mungil namun Aku tidak terlalu berisi. Ia duduk lalu dengan ramah menyapaku. Ia tidak segan untuk berbagi cerita. Ia bercerita bahwa dirinya ingin menuju Kaliwungu, tempat anak pertamanya tinggal. Biasanya enam bulan sekali ia akan pulang ke tempat tersebut karena merasa rindu dengan anaknya. Namun kali ini tidak, lepas dua bulan menemui anak dan cucunya disana, ia kembali lagi. Namun yang kulihat ia sendirian.

Beliau hidup seorang diri di Jakarta. Mengadu nasib menjadi tukang pijat. Namun ia adalah ‘spesialisnya’. Orang-orang memanggilnya nenek urut. Ia tidak memiliki nama panggilan, begitu celetukannya. Nenek urut bekerja sejak pagi hingga malam hari. Orderan yang diterimanya setiap hari tidak pernah menentu. Tergantung kemampuan si masing-masing pemesan. Namun ada juga yang tega menghutangi nenek urut.

Nenek urut baru saja kehilangan suaminya. Ia terlihat tidak menyimpan sedih. Ia bilang, “kalau sudah waktunya kita bisa apalagi?”, Aku menaruh penasaran padanya. Nenek urut malah menaruh stick balado ditanganku. “Sudah habiskan ini, masih banyak sisa lebaran dirumah.”

Ia tidak bisa membiarkan rasa penasaranku muncul. Tapi caranya menjawab yang menunjukkanku pada satu pertanyaan.

“Nenek kok sendirian?”



Related Posts

Post a Comment